Kisah Perjuangan Diaspora Indonesia Menggapai Mimpi Amerika di Philadelphia
Indonesian Lantern, sebuah media digital berbasis di kota Philadelphia, memproduksi sebuah film berjudul “Living the Silent Dream.” Film berdurasi 26 menit ini mengemas secara ringkas kisah panjang, beragam, dan kompleks perjuangan diaspora Indonesia di kota “Cinta Persaudaraan” tersebut.
VOA — “Living the Silent Dream,” sebuah film pendek tentang kisah nyata perjuangan diaspora Indonesia di Philadelphia, yang diproduksi oleh Indonesian Lantern dan disutradarai oleh Deddy Raksawardana, terpilih sebagai salah satu film dalam festival lokal, tapi bergengsi, The Philadelphia Asian American Film Festival, pada 3 -13 November lalu. Festival tahunan ini menampilkan film feature dan film pendek oleh dan tentang warga Amerika keturunan Asia, termasuk Indonesia.
Indah Nuritasari, pendiri Indonesian Lantern bersama Didi Prambadi dan Wiharta Lim, bertindak sebagai produser film ini. Kepada VOA dia mengatakan bahwa film itu awalnya dimaksudkan sebagai dokumenter tentang kehidupan komunitas Indonesia di Philadelphia yang menjadi korban pandemi, tetapi kemudian berkembang menjadi kisah lebih luas tentang perjuangan diaspora Indonesia dalam menggapai mimpi mereka.
“Prosesnya ketika tahun 2020 kami mendapatkan grant (hibah, red) dari Facebook Journalism Project cukup besar, lalu karena waktu itu COVID, kami merasa bahwa film dokumenter ceritanya lebih menarik tentang kehidupan komunitas Indonesia di Philadelphia yang waktu itu menjadi korban pandemi, cukup banyak yang meninggal atau sakit. Lalu tahun 2020 itu saya bertemu Mas Deddy – saya sama sekali nggak tahu kalau beliau ternyata gitaris terkenal di Indonesia – lalu dari ngobrol-ngobrol saya bilang Indonesian Lantern sangat tertarik untuk membuat video story telling tentang masyarakat Indonesia di Philadelphia,” ujarnya.
Gayung bersambut! Indah mengatakan bahwa ajakan itu segera disambut dengan positif dan antusias oleh Deddy Raksawardana, mantan gitaris band Naff yang juga seorang sinematografer, sutradara, dan editor yang hijrah ke Philadelphia pada tahun 2019. Tujuan dan keinginan Indonesian Lantern dan minat serta ketrampilan Deddy, pemilik Air Studio yang memproduksi film-film feature, dokumenter, dan iklan pun menyatu dan dimulailah proses pembuatan film tentang diaspora Indonesia di Philadelphia.
Deddy sangat tertarik dengan proyek pembuatan film ini, yang katanya “latar belakangnya itu sebenarnya simpel sekali.”
“Kita kan di sini komunitas Indonesia-nya cukup besar. Saya sendiri baru di Philadelphia itu baru tiga tahun, terus ketemu Indonesian Lantern. Mereka sudah menulis tentang sejarah migran Indonesia di Philadelphia. Berdasarkan itu mereka minta saya untuk membuatkan dokumenternya. Jadi kayak memfilmkan tulisan-tulisan itu. Jadi simpel saja latar belakangnya, untuk komunitas Indonesia, bagaimana sih (ceritanya, red) dulu itu,” kata Deddy.
Deddy mengatakan fenomena tentang bagaimana begitu banyak warga Indonesia berada di kota deklarasi kemerdekaan Amerika itu sangat menarik diceritakan, dan tujuan awal dari proyek itu sebenarnya untuk diunggah di platform YouTube.
“Sebenarnya kan banyak yang datang, banyak yang sudah pulang juga. Rencananya itu cuma untuk YouTube, to serve the Indonesian community (untuk konsumsi komunitas Indonesia) di Philadelphia sama mereka yang dulu pernah tinggal di sini. Ya mungkin ada orang lain juga yang tertarik, kepengin lihat bagaimana sih ceritanya orang Indonesia di Philadelphia.
Uniknya di sini itu terjadi booming antara 1998 sampai awal 2000. Jumlah orang Indonesia tiba-tiba naik begitu, sehingga itu merupakan interesting story (kisah menarik). Jadi, di sini banyak orang pada kaget karena tiba-tiba kok ramai. Jadi dalam film itu ceritanya sampai tahun 1998 hanya ada 40 orang Indonesia di Philadelphia, tetapi begitu 2002, itu sampai 10 ribu. Itu lonjakannya besar sekali,” tambahnya.
Yang menarik, kata Deddy, sejak 2006 banyak warga Indonesia yang pulang ke Indonesia, baik secara sukarela maupun karena dideportasi. “Jadi berkurang jauh juga, dari 10 ribu menjadi 4.000 (orang Indonesia) banyaknya,” tambahnya.
Indah menambahkan bahwa Indonesian Lantern sebenarnya sudah pernah menurunkan cerita-cerita tentang sejarah komunitas Indonesia di Philadelphia, tetapi semuanya dalam bentuk tulisan pendek karena keterbatasan ruang, baik untuk majalah maupun situs web.
“Lalu kami mulai melakukan interview dengan pelaku sejarah seperti pak Hadi yang mendirikan Hardena atau Warung Surabaya dan beberapa tokoh-tokoh lainnya, pendeta, ibu rumah tangga, pekerja, artis dan sebagainya,” tukas Indah.
Menurut Indah, hasil dari proyek itu ternyata menarik dan pada tahun 2020 Indonesian Lantern bekerja sama dengan KJRI New York dan film dokumenter tentang pandemi serta film “Living the Silent Dream” sempat diputar dalam rangka perayaan Kemerdekaan RI, walaupun, ujar Indah, “waktu acara 17 Agustus kami putar, tetapi waktu itu dalam bentuk interview, belum ada alur cerita sebagaimana film pada umumnya.”
“Nah tahun ini, bulan Juni, saya bilang sama Mas Deddy bahwa film ini terlalu bagus dan kalau tidak banyak yang lihat itu sayang. Jadi, ayo kita ikutkan ke festival dan ternyata festival film punya standar sendiri untuk film-film yang mereka izinkan ikut. Jadi, Mas Deddy dan saya akhirnya membuat proyek lagi untuk merevisi film yang sebetulnya sudah jadi tahun 2020. Setelah dengan beberapa revisi akhirnya film itu selesai, tetapi terus terang karena kendala waktu, tenaga dan dana, filmnya tidak bisa dilakukan lebih bagus. Tentunya kami puas dengan yang ada sekarang,” imbuhnya.
Sementara itu, Deddy berpendapat bahwa kendala lain yang muncul adalah sulitnya mencari narasumber yang bersedia tampil langsung dalam film itu, misalnya melalui wawancara. Bahkan, banyak warga Indonesia di Philadelphia juga lebih memilih diam mengenai kisah mereka, terutama mengenai kisah sedih dan hanya mau berbicara tentang kisah sukses mereka.
“Ternyata ketika saya mau interview narasumber itu mendapat kesulitan, enggak ada yang mau cerita karena kalau tulisan kan tinggal nulis gitu, tapi kalau video kan harus ada gambar orang yang ngomong. Itu banyak yang tidak bersedia. Itulah sebabnya judulnya berubah dari “History of Indonesians in Philadelphia” menjadi “Living the Silent Dream”,” ujar Deddy.
Sementara itu, Indah merasa bahwa pesan dari film ini sudah tercapai, “walaupun idealnya, misalnya storyteller-nya adalah bukan sutradaranya. Idealnya storyteller yang ada di film itu adalah benar-benar orang Indonesia yang sudah lama tinggal di Philadelphia dan sudah makan asam garam perjuangan meraih mimpi Amerika mereka.”
Namun, Indah berpendapat bahwa secara umum film itu sudah menceritakan mengapa warga Indonesia datang ke Philadelphia, bertahan, dengan menghadapi segala macam cobaan hidup yang berat, dan sampai sekarang masih tetap optimis untuk tinggal di kota itu. “Secara umum film itu sudah bercerita tentang itu semua, tetapi memang tidak bisa bercerita tentang banyak sekali aspek lainnya.”
Indah menambahkan, warga Indonesia di Philadelphia berasal dari berbagai suku, agama, kebudayaan, latar belakang pendidikan, dan beragam alasan memilih tinggal di kota itu. “Memang tidak semua tergambarkan dalam film itu, tetapi secara umum film itu sudah menggambarkan secara garis besar perjuangan komunitas Indonesia meraih American Dream.”
Secara pribadi, Indah merasa “puas sekali, dan bahagia karena kisah warga Indonesia di Philadelphia bisa dinikmati dan ditonton oleh komunitas lain, yaitu komunitas Amerika, diaspora Indonesia di negara-negara lain, orang Indonesia di Indonesia, karena buat kami tujuan utamanya adalah menceritakan tentang komunitas kita di Amerika, di Philadelphia.”
“Secara umum saya puas, tapi tentu sebagai artis atau sebagai jurnalis kami tentu ingin lebih baik, dan itu mudah-mudahan akan bisa dilakukan untuk film-film berikutnya,” tuturnya.
Deddy berpendapat bahwa terlepas dari berbagai kendala sehingga “sebenarnya tujuan awalnya kurang tercapai, tetapi hasil dari film ini ternyata malah melebihi tujuan semula, karena tujuan semula itu hanya untuk komunitas Indonesia, dan sekarang malah untuk orang Amerika karena mereka tertarik juga.”
Deddy mendengar dari beberapa orang Amerika yang menyatakan ketertarikan mereka pada film ini dan mereka baru menyadari kisah sesungguhnya perjuangan diaspora Indonesia. Alhasil, film ini juga ditayangkan di ekshibisi-ekshibisi, termasuk di perpustakaan pemerintah dan di acara Pameran Kebudayaan Indonesia yang penontonnya justru kebanyakan bukan warga Indonesia.
“Jadi, ‘Living the Silent Dream’ itu perbedaan nyata antara Silent Dream dan American Dream. Ini yang membuat mereka tertarik karena American Dream itu kan orang punya rumah, punya mobil, punya tabungan. Imigran Indonesia juga punya itu, tapi sebelum mencapai itu mereka ada dream dulu yang mereka kejar yaitu punya surat (izin tinggal resmi, red). Nah ini yang jadi menarik dan berbagai struggle (perjuangan) yang tidak dialami oleh orang Amerika di sini,” katanya.
Deddy berharap bahwa orang non-Indonesia yang menonton film ini bisa mengerti perjuangan diaspora Indonesia, dan “bagi orang Indonesia, sudahlah yang punya surat maupun yang tidak punya surat, bersatulah. Kita sama-sama semua imigran di sini, sama-sama menginginkan keadaan yang lebih baik, sama-sama “Living the American Dream,” pungkasnya. [lt/ab]